Rabu, 18 Juni 2014

Ketika Luka itu Masih Ada



               Amarah memang sebaiknya diluapkan dengan cara yang baik, menahan emosi atau dengan diam. Tapi aku lebih memilih untuk menulisnya.
               Hari yang buruk itu kembali lagi. Malam dimana tangisanku dengan mudahnya mengucur dari kedua mataku. Terlalu banyak hal yang harus dibendung hingga pada akhirnya aku tak kuat menahannya lagi. Masih ada perlakuan buruk yang kala itu terjadi kini lukanya masih tersisa. Awalnya aku memang tak ingin negative thinking, tapi atas penuturan yang tak sengaja diutarakan, rasa penasaran itu terbayar sudah. Keraguan yang dulu sempat menjadi rasa curiga ketika masalah tersebut menyeruak, kini dugaanku benar.
                Malam itu dengan sengaja aku benar-benar ditinggal karena sebuah kesalahan yang bukan secara sengaja aku lakukan. Dimana penegakan  dan pembelaan tak bisa kulakukan, alasan yang kuutarakan pun tak diterimanya. Aku tidak berniat untuk membantah ataupun memontong pembicaraan. Aku hanya ingin membela diri, AKU JUGA PUNYA HAK ATAS HAL ITU !!. Tapi aku ini orang kecil, tak pandai berkata seperti mereka orang besar. Akupun pasrah, ku biarkan saja luapan amarah itu menerjangku satu persatu, biar puas apa yang dirasa. Apa daya yang dilihat selalu saja kesalahan dan kesalahan. Bukankah seharusnya manusia tetap tersadar bahwa mereka adalah tempatnya salah dan dosa ?. Lantas, dengan keras  dan tanpa kasihan aku di hakimi bagai mereka tak mengenalku lagi.
                Aku mencoba untuk membiarkannya, mungkin hati ini sudah kebal menghadapi semuanya. Aku berusaha memahami, mengalah karena salah, dan diam karena tak banyak yang bisa ku lakukan saat ini. Lambat laun pasti akan kembali meskipun butuh penyesuaian. Tapi, dari semua kejadian itu, setiap detainya  bagai tak bisa kulupakan. Lalu kenapa harus kenangan pahit yang paling membekas ?. Lagi – lagi tak ada yang bisa dituntut atas apa yang telah terekam oleh memory.
                Ancaman ?. Hal ini tiba – tiba mengejutkanku hanya karena hal yang sangat sepele. Bukankah seharusnya dia memberikan contoh yang baik, tetapi malah mengancam. Ya sudah, aku lebih baik mengalah lagi dan lagi. Sulit memang, bahwasanya yang dihadapi bukanlah sosok yang pantas untuk dibiarkan menang. Orang lain mungkin tak percaya, semua memang terlihat baik – baik saja, bahkan sepertinya tak ada yang harus di permasalahkan. Tapi, disini aku yang merasakannya. Sekuat mungkin aku memang menyembunyikan ini semua. Mungkin saja dia juga tak pernah tahu, aku terisak menulis ini semua. Sadarkah ? Pedulikah saat ini ? Ah, mungkin tidak.
                Aku memang sengaja tak menceritakan permasalahan yang ku hadapi. Aku tak ingin mereka menanggung malu, bagaimanapun juga aku tetap harus menjaga nama baiknya, karena berhubungan dengan harga diriku dan semuanya yang terlibat. Aku hanya ingin meminta keadilan saja, bahwa diantara kami sejujurnya ingin mendapatkan perlakuan yang sama, ingin mendapatkan kasih sayang yang sesuai. Meskipun porsi keadilan tak harus sama dan seimbang. Tapi keadilan punya kebutuhannya sendiri – sendiri.
                Aku tak ingin lelah, meskipun harus berjuang lebih keras lagi membuat kalian bangga. Aku memang tak mengharapkan pujian atas prestasi yang pernah kuraih. Aku hanya ingin, rasa bahagia itu terlihat. Bahkan semuanya akan tampak biasa saja. Aku tahu, hebat dimata kalian memang istimewa, dan aku belum meraihnya. Tapi suatu saat, akan kuperlihatkan bahwa aku disini bisa membuktikan. Aku tak ingin setiap saat diremehkan begitu saja. Aku ingin lihat, bahwa senyum itu terlukis karenaku, karena rasa tidak terima itulah aku ingin memperbaiki semuanya yang setiap kali dipandang buruk. Semoga Allah mempermudah jalanku, dan memberi kesabaran, ketabahan juga kekuatan diantara langkah demi langkah yang kukorbankan.
               

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates