Udah
lama rasanya nggak ngeblog lagi. Kali ini saya mau sedikit berbagi cerita. Bisa
jadi juga pengalaman pribadi. Kejadian ini tepatnya pada 12 April 2014 lalu.
Entah mengapa aku nggak pernah ingin hari ini terulang kembali.
Waktu
itu hari Sabtu setelah pulang sekolah rencananya mau ngerjain tugas Bahasa
Indonesia. Tugasnya agak berat sih, bikin film ceritanya. Tapi sikon sepertinya
nggak mendukung, karena waktu itu hujan deres banget. Aku ditemani salah seorang
anggota kelompok filmku akhirnya berteduh di Masjid sekolah. Awalnya, ku kira
nggak jadi bikin filmnya. Namun tak berapa lama kemudian hujannya reda. Aku
sama temanku memutuskan untuk bertemu dengan anggota kelompok yang lain. Kesepakatan akhirnya pembuatan film
tetap dilangsungkan.
Sekitar
jam 4 sore, take film pun di mulai. Ku
kira sih bakalan langsung berhasil adegan – adegannya. Tapi karena kami bukan
artis dan belum terbiasa, kesalahan pun menjadi hal yang wajar. Tanpa terasa
waktu semakin cepat, aku pun tak sadar kala itu hari sudah sore. Jam 5 lebih
dikitlah kira – kira, tak film berakhir. Dan inget juga waktu itu langsung buru
– buru Sholat Ashar karena sudah mendekati maghrib. Suasananya udah mulai
gelap, aku segera telfon ibu ku untuk ijin pulang agak terlambat. Berharapnya
ingin di maklumi, tapi malah kena semprot. Setelah itu, telfon langsung
dimatikan. Adzan Maghrib berkumandang, rasa panik bertambah 2 kali lipat.
Aku
langsung takut, nggak berpikir lama, yang penting buru – buru pengen pulang.
Aku emang salah sih waktu itu lupa nggak ngasih kabar sebelumnya kalau mau
ngerjain tugas. Tapi biasanya orang tuaku sudah paham kalau aku pulang sore
mungkin ada kegiatan di sekolah. Entah rapat organisasi ataupun ada keperluan
lainya. Biasanya aku memberi kabar kalau emang pulangnya telat banget, baru aku
sms atau telfon. Tapi kali ini, aku bener – bener lupa. Pas take film itu aku
nggak kepikiran ngantongin hp buat ngasih kabar, mungkin perasaan emang udah
nggak enak dari awal, tapi ya mau gimana lagi. Ini udah mandat buat ngerjain
itu tugas, mau nggak mau ya harus di selesaikan karena aku nggak mau di bilang
egois.
Sebelum
pulang, aku nganterin temenku pulang, soalnya dia nggak ada yang jemput dan
nggak bawa kendaraan. Agak jauh sih dari rumahku, tapi kalau nggak dianter kan
dia juga kasian. Awalnya aku udah bilang kalau udah di marahin suruh cepetan
pulang kerumah. Tapi aku juga nggak tega kalau dia harus naik angkutan umum,
udah jam segitu pastinya jarang ada yang lewat.
Setelah
aku nganter dia pulang. Ternyata dia ngambil motornya trus nganterin aku pulang
untuk minta maaf ke orang tuaku, soalnya
aku jadi pulang telat. Sesampainya di rumah, raut wajah bapak dan ibu udah
bikin aku tambah takut. Ku kira juga kehadiran temenku itu bakal meredakan amarah
mereka. Tapi ternyata tidak. Tetep aja aku dimarahin habis – habisan. Nggak
usah di jabarin lah dimarahinnya kayak gimana, aku nggak mau inget saat itu
lagi. Aku cuma bisa diem dan nunduk, mau protes tapi nggak bisa. Kata – katanya
nusuk bukan main. Berbagai ancaman pun sempat terdengar. Aku hanya bisa pasrah
dan menyabarkan diri. Orang tuaku memang tergolong keras ketika anaknya
melakukan kesalahan. Mungkin begitu caranya mereka mendidik, meski tak sesuai
harapanku. Tapi aku tahu, di balik itu semua, mereka lakukan karena sayang.
Setelah
temanku pulang, aku langsung masuk ke kamar. Nggak usah di tanya lagi, aku
langsung nangis. Bukan karena cengeng atau apapun aku menangis. Aku bahkan tak
menyangka kejadiannya bakal seburuk ini. Nggak ada persiapan mental untuk
menguatkan diri. Mungkin selepas itu perasaanku sedikit melega. Tak berapa lama
kemudian semua penghuni rumah pergi. Nggak tau juga ada urusan apa dan pergi
kemana. Yang jelas malam itu, aku di rumah sendirian. Puas banget mungkin
ketika nangis tapi mereka nggak tahu. Aku mencoba menenangkan diri agar tak
larut dalam kesedihan. Aku berpikir untuk menelfon salah satu temanku yang
sudah sangat aku percayai. Aku menceritakan kejadian tersebut dari awal, dan
meminta solusi darinya. Cukup lega setelah beban – beban yang semula dirasakan
sendiri lalu di keluarkan melalui cerita itu rasanya lebih ringan. Aku emang
bukan tipe orang yang bisa mendem masalah berlama – lama. Tak ada untungnya
juga jika di biarkan begitu saja. Yang ada beban itu terasa semakin berat. Coba
saja jika kita berbagi cerita atau meminta solusi dengan orang lain. Pasti
rasanya berbeda. Tapi dalam tanda kutip orang tersebut bisa dipercaya untuk
menjaga rahasia yang kamu sampaikan. Tak ada salahnya juga jika kita terbuka
dengan orang lain, siapa tahu bermanfaat untuk menambah pengalaman mereka.
Setelah
kejadian itu, aku nggak pernah berani pulang sore lagi. Wajarnya saja perempuan
memang tak elok jika mendekati Adzan Maghrib atau setelahnya bahkan sampai
larut malam masih keluyuran di luar rumah. Meskipun hari itu adalah hari yang
buruk bagiku, namun tak ada yang sia – sia. Pasti selalu ada hikmah yang bisa
kita ambil dari setiap kejadian yang baik maupun buruk. Aku juga bersyukur,
orang tuaku protective sekali denganku karena mereka tak ingin hal – hal
negatif di zaman globalisasi ini menimpaku. Itu artinya mereka masih peduli,
meski terkadang tidak setiap perhatian yang mereka berikan sesuai dengan apa
yang kita harapkan.
“Belajar untuk menerima, memahami, dan
bersabar atas apapun kejadian buruk yang menimpamu”