Sabtu, 17 Mei 2014

Larangan Itu Bisa Jadi Bentuk Kasih Sayang



Udah lama rasanya nggak ngeblog lagi. Kali ini saya mau sedikit berbagi cerita. Bisa jadi juga pengalaman pribadi. Kejadian ini tepatnya pada 12 April 2014 lalu. Entah mengapa aku nggak pernah ingin hari ini terulang kembali.
Waktu itu hari Sabtu setelah pulang sekolah rencananya mau ngerjain tugas Bahasa Indonesia. Tugasnya agak berat sih, bikin film ceritanya. Tapi sikon sepertinya nggak mendukung, karena waktu itu hujan deres banget. Aku ditemani salah seorang anggota kelompok filmku akhirnya berteduh di Masjid sekolah. Awalnya, ku kira nggak jadi bikin filmnya. Namun tak berapa lama kemudian hujannya reda. Aku sama temanku memutuskan untuk bertemu dengan anggota kelompok  yang lain. Kesepakatan akhirnya pembuatan film tetap dilangsungkan.
Sekitar jam  4 sore, take film pun di mulai. Ku kira sih bakalan langsung berhasil adegan – adegannya. Tapi karena kami bukan artis dan belum terbiasa, kesalahan pun menjadi hal yang wajar. Tanpa terasa waktu semakin cepat, aku pun tak sadar kala itu hari sudah sore. Jam 5 lebih dikitlah kira – kira, tak film berakhir. Dan inget juga waktu itu langsung buru – buru Sholat Ashar karena sudah mendekati maghrib. Suasananya udah mulai gelap, aku segera telfon ibu ku untuk ijin pulang agak terlambat. Berharapnya ingin di maklumi, tapi malah kena semprot. Setelah itu, telfon langsung dimatikan. Adzan Maghrib berkumandang, rasa panik bertambah 2 kali lipat.
Aku langsung takut, nggak berpikir lama, yang penting buru – buru pengen pulang. Aku emang salah sih waktu itu lupa nggak ngasih kabar sebelumnya kalau mau ngerjain tugas. Tapi biasanya orang tuaku sudah paham kalau aku pulang sore mungkin ada kegiatan di sekolah. Entah rapat organisasi ataupun ada keperluan lainya. Biasanya aku memberi kabar kalau emang pulangnya telat banget, baru aku sms atau telfon. Tapi kali ini, aku bener – bener lupa. Pas take film itu aku nggak kepikiran ngantongin hp buat ngasih kabar, mungkin perasaan emang udah nggak enak dari awal, tapi ya mau gimana lagi. Ini udah mandat buat ngerjain itu tugas, mau nggak mau ya harus di selesaikan karena aku nggak mau di bilang egois.
Sebelum pulang, aku nganterin temenku pulang, soalnya dia nggak ada yang jemput dan nggak bawa kendaraan. Agak jauh sih dari rumahku, tapi kalau nggak dianter kan dia juga kasian. Awalnya aku udah bilang kalau udah di marahin suruh cepetan pulang kerumah. Tapi aku juga nggak tega kalau dia harus naik angkutan umum, udah jam segitu pastinya jarang ada yang lewat.
Setelah aku nganter dia pulang. Ternyata dia ngambil motornya trus nganterin aku pulang untuk  minta maaf ke orang tuaku, soalnya aku jadi pulang telat. Sesampainya di rumah, raut wajah bapak dan ibu udah bikin aku tambah takut. Ku kira juga kehadiran temenku itu bakal meredakan amarah mereka. Tapi ternyata tidak. Tetep aja aku dimarahin habis – habisan. Nggak usah di jabarin lah dimarahinnya kayak gimana, aku nggak mau inget saat itu lagi. Aku cuma bisa diem dan nunduk, mau protes tapi nggak bisa. Kata – katanya nusuk bukan main. Berbagai ancaman pun sempat terdengar. Aku hanya bisa pasrah dan menyabarkan diri. Orang tuaku memang tergolong keras ketika anaknya melakukan kesalahan. Mungkin begitu caranya mereka mendidik, meski tak sesuai harapanku. Tapi aku tahu, di balik itu semua, mereka lakukan karena  sayang.
Setelah temanku pulang, aku langsung masuk ke kamar. Nggak usah di tanya lagi, aku langsung nangis. Bukan karena cengeng atau apapun aku menangis. Aku bahkan tak menyangka kejadiannya bakal seburuk ini. Nggak ada persiapan mental untuk menguatkan diri. Mungkin selepas itu perasaanku sedikit melega. Tak berapa lama kemudian semua penghuni rumah pergi. Nggak tau juga ada urusan apa dan pergi kemana. Yang jelas malam itu, aku di rumah sendirian. Puas banget mungkin ketika nangis tapi mereka nggak tahu. Aku mencoba menenangkan diri agar tak larut dalam kesedihan. Aku berpikir untuk menelfon salah satu temanku yang sudah sangat aku percayai. Aku menceritakan kejadian tersebut dari awal, dan meminta solusi darinya. Cukup lega setelah beban – beban yang semula dirasakan sendiri lalu di keluarkan melalui cerita itu rasanya lebih ringan. Aku emang bukan tipe orang yang bisa mendem masalah berlama – lama. Tak ada untungnya juga jika di biarkan begitu saja. Yang ada beban itu terasa semakin berat. Coba saja jika kita berbagi cerita atau meminta solusi dengan orang lain. Pasti rasanya berbeda. Tapi dalam tanda kutip orang tersebut bisa dipercaya untuk menjaga rahasia yang kamu sampaikan. Tak ada salahnya juga jika kita terbuka dengan orang lain, siapa tahu bermanfaat untuk menambah pengalaman mereka.
Setelah kejadian itu, aku nggak pernah berani pulang sore lagi. Wajarnya saja perempuan memang tak elok jika mendekati Adzan Maghrib atau setelahnya bahkan sampai larut malam masih keluyuran di luar rumah. Meskipun hari itu adalah hari yang buruk bagiku, namun tak ada yang sia – sia. Pasti selalu ada hikmah yang bisa kita ambil dari setiap kejadian yang baik maupun buruk. Aku juga bersyukur, orang tuaku protective sekali denganku karena mereka tak ingin hal – hal negatif di zaman globalisasi ini menimpaku. Itu artinya mereka masih peduli, meski terkadang tidak setiap perhatian yang mereka berikan sesuai dengan apa yang kita harapkan.
“Belajar untuk menerima, memahami, dan bersabar atas apapun kejadian buruk yang menimpamu”

Template by:

Free Blog Templates