Jumat, 05 Desember 2014

Apapun yang Pernah Ada


            Apa kamu pernah berpikir tentang sebuah pertemuan ? apa sebelumnya kamu memang pernah berharap atas pertemuan itu?. Aku tahu, kita memang tak pernah mengerti atas cerita yang akan dijalani. Kala itu aku pernah berharap, ketika mataku bisa menatap dengan kebebasan tanpa pemilik namanya mengetahui. Aku bisa simpan rahasia tentangnya. Tapi aku memilih untuk menyembunyikan. Meskipun aku tak mendapatkan balasan atasnya, tapi hatiku merasa senang meski bahagia yang tercipta tanpa alasan. Tanpa syarat, semua melekat dengan sendirinya. Sempat malu untuk memulainya lebih dulu. Tapi aku tak ingin lakukan kesalahan yang sama. Awalnya, jika kebebasan atas kekaguman itu tak berpihak kepadaku, aku tetap berdiri ditempat yang sama. Bukan lantas tak berjuang, aku hanya ingin menciptakan kesadaran.
                Pada suatu ketika, tanpa  permintaan, harapan itu datang membawa kejutan. Mungkinkah ini suatu kebetulan ? atau sebelumnya memang sudah merasa bahwa begini adalah jalannya. Lalu inikah yang disebut sebuah kehadiran?. Dan karenanya aku tersenyum dengan alasan. Rasa nyaman yang tercipta setelahnya, terkadang membawaku lupa diri. Masa dimana hal yang tak pernah kita ketahui, menjadi jembatan pengenalan diri. Hingga kini, semangat itu kembali tumbuh meski dengan motivasi sederhana. Dengan sapaan selamat pagi yang tak bosan kita ucap bersama, lalu menjadi kebiasaan.
                Apa yang kita rasakan diawal biasanya nampak sangat istimewa. Ketika setiap hari rutinitas tersebut tak absen dilakukan, akan ada rasa yang berbeda. Meski tak ada yang berkurang sedikitpun dari bulir-bulir perhatian. Ini bukan isyarat bahwa kau harus berhenti disini. Mungkin hanyalah aba-aba bahwa setiap jiwa yang lelah butuh istirahat. Selanjutnya segala pelampiasan atas keresahan nampak membingungkan kedudukan. Lakukan saja kegiatan yang bisa hilangkan kegundahan. Bila termometer diri sudah terlepas dari kejenuhan, maka yang indah akan tampak jelas kembali.
                Tapi,  pada hekekatnya diri memang tak bisa memaksakan sebuah perjalanan. Dan tahukah, bahwa yang terpikir dari setiap pertemuan adalah bagaimana akhir dari kita. Bagaimana selanjutnya kita menempuh jalan bila kelak arahnya tak lagi sama. Apakah ada kata-kata yang sanggup untuk menguatkannya? Bahwa bila kau sadar, setiap pengalaman yang pernah kau miliki bisa dijadikan cermin. Sebuah peringatan bahwa kita sudah berjalan cukup jauh, tinggal bagaimana pilihan yang kau putuskan. Tapi ingatlah satu hal, jangan sampai kau berjuang dengan keterpaksaan. Karena terpaksa membuat yang menyenangkan menjadi menyakiti. Pikirkan tentang segalanya untuk merekatkan, untuk mempertahankan yang pernah dimiliki bersama. Sejatinya keyakinan diri tak akan mengkhianati bila ketulusan itu memang benar ada eksistensinya. Kuyakin ku bisa bila kau bisa.

Sabtu, 25 Oktober 2014

Hanya Kiasan Rasa dalam Kata



Sudah lama aku tak berbicara soal rasa, tak merangkai puisi tentang asmara. Sebenarnya bukan tak sempat atau pun tak ingin. Aku hanya meminimalisir setiap kesalah pahaman yang muncul diantara asumsi – asumsi pribadi. Aku tak memungkiri, bahwa aku tak ubahnya makhluk lain yang juga memiliki hati dan cinta. Cinta kepada-Nya, cinta pada orang tua, cinta pada sesama, cinta dalam kategori pokok bagi diri kita. Tapi ada juga cinta dalam hal yang umum kita perbincangkan. Aku mengaku, aku memiliki, aku merasakan. 17 tahun menurut banyak orang adalah umur yang biasanya menjadi spesial dengan segala momentnya. Aku membenarkannya, bahwa di usia tersebut hadir sosok yang mungkin menjadi terspesial.
Terlalu banyak cerita tentang pertemuan ini, tentang percakapan kita. Bila boleh aku berharap, bila ceritanya menjadi indah, ingin rasanya aku berbagi pada dunia suatu saat nanti. Bila Allah mengizinkan, bila segalanya dipermudah, bila memang dipertemukan, tidak ada yang tidak mungkinkan ?. Asal kau tahu, setiap hari aku bagai manusia penuh harapan yang selalu berimajinasi dengan bayangan. Meskipun kadang aku seperti ditepis oleh kenyataan bahwa aku tak memiliki kedudukan. Aku, ibarat kapal kertas yang mengikuti saja alir sungai karena aku tak punya kendali. Aku tak tahu  arah  arus tersebut akan membawaku. Tapi..., setiap kubayangkan sesuatu akan indah di ujung sana. Aku tetap seperti kapal yang tegar menuruti alir meskipun panas dan hujan terus menerpa. Ada satu ketakutan di dalam benakku, bila kenyataannya aku harus tenggelam. Aku bisa percaya, aku pasti akan bangkit. Tapi aku bukan lagi menjadi kapal yang berhasil dalam tantangan, sehingga ceritaku hanya menjadi hal biasa tanpa keindahan,  dan begitu saja mudah dilupakan. Meskipun bila dimaknai,  ada sebuah pengorbanan yang  tak lekang oleh waktu.
Aku kembali sadar. Bahwa yang beku bisa mencair, bahwa yang padat bisa melebur. Seperti halnya pakaian yang dijemur terus menerus,  bisa saja luntur. Tapi... apakah hati juga seperti itu ? Bila terlalu lama dibiarkan, lalu akan menjadi seperti apa ?. Tuhaan, berulang kali pertanyaan itu selalu muncul dikala lelah. Mungkin hati hanya perlu istirahat sejenak, kemudian bisa kembali pulih seperti semula. Kalau bisa, kembali seperti saat pertama kali hati merasakan sesuatu yang berbeda. Tuhan, aku percaya, Engkau selalu memiliki rahasia indah, indah seperti kata-katanya kala itu. Entah indah yang Engkau persiapkan itu seperti apa, baik atau buruk, itu memang akan terjadi. Maka sebelumnya, biarkan bayangan dan angan-angan itu menjadi pilar – pilar semangat disetiap pagiku. Berikan waktu, agar motivasi mampu mengiringi kesuksesan kami. Tuhan, apa harapanku salah ? apakah harapanku ini pantas?. Lalu, apakah aku salah bila terus berharap ?

           

Obsesi Sebuah Impian

        Lama sudah tak ku latih jemari jemariku menyampaikan isi hati melalui pikiran pikiran yang terkadang melintas di kepalaku. Ide idenya sering kali muncul. Tapi entah kenapa terkadang enggan untuk menyampaikan, bahkan hanya menulisnya dalam sebuah kertas. Apa daya ide tersebut kemudian dilupa begitu saja. Kali ini aku tak ingin menyianyiakan lagi. Aku tidak sedang berkarya, bercerita, ataupun berpuisi. Aku ingin mencurahkan isi hati lebih tepatnya.

Sekarang tibalah saatnya aku menduduki kelas XII. Masa dimana Ujian Nasional dan Perguruan Tinggi Negri menjadi momok yang benar benar dipersiapkan sedemikian rupa. Beberapa hari yang lalu kabar baik sedang menghampiri keluargaku, lebih tepatnya kabar gembira untuk kakakku. Alhamdulillah dia diterima di UGM Fakultas Kehutanan. Pada awalnya orang tuaku sudah pasrah. Beberapa pengumuman yang sudah dilangsungkan sebelumnya dalam SNMPTN maupun SBMPTN  tak ada yang membuahkan hasil. Tentu saja hal tersebut membuat ibu dan bapak cemas, aku pun juga. Awalnya aku sempat minder, melihat betapa perjuangan untuk memasuki jenjang perkuliahan memang tidaklah mudah. Prioritas dan hasratku memperjuangkan UGM sebagai universitas impian sempat surut. Sebelumnya kusempatkan  melihat lihat latihan soal SBMPTN maupun UM di kamar kakakku, reaksiku ya datar saja. Masih bingung dengan soal soal tersebut. Ditambah lagi dia anak IPA, sedangkan aku IPS. Tentu sudah beda materinya.

Setelah ibuku memberitahu bahwa kakakku diterima di UGM jujur aku kaget, kaget campur seneng pastinya. Aku bangga !!. Dengan begitu ada jalan dan peluang yang telah dimilikinya untuk menuntut ilmu di perkuliahan nanti. Selain itu, hal tersebut bisa menjadi motivasi yang besar untukku. Aku tak boleh kalah dari saudaraku sendiri. AKU HARUS LEBIH HEBAT DARINYA !. Begitulah kata hatiku setiap kali mengingat akan hal tersebut. Semangat kemudian menggebu gebu, berkobar bak bara api dalam pembakaran batu bata. Berharap tak akan padam oleh apapun yang menghalanginya. Sekali dua kali mungkin juga selebihnya aku sempat bertanya pada diri sendiri. “Mungkinkah aku mendapat kesempatan yang sama ?,keberuntungan yang sama ?”. Hal yang wajar orang orang tanyakan pastinya. Meskipun ragu pernah menghampiri, aku menepisnya dengan prasangka baik saja. Bahwa apapun yang terjadi nanti, Allah pasti memiliki rencana yang baik. Positive Thinking atas apa yang kuyakini semoga benar benar membuahkan hasil yang baik (Aamiin).

Beberapa hari setelahnya, bapak dan ibu terus bertanya padaku, kelak nantinya akan melanjutkan kemana, memilih jurusan apa, bekerja jadi apa. Aku memang sudah sejak lama merencanakan masa depan. Tapi aku belum mendapatkan kemantapan hari secara utuh. Terkadang juga masih bingung antara iya dan tidak. Ibu bilang, alangkah lebih baik jika aku sholat istikhoroh dahulu sebelum menentukan pilihan. Pasrahkan semuanya pada yang Kuasa, agar lebih yakin. Pilihanku awalnya memihak pada jurusan komunikasi, pendidikan sosiologi, dan psikologi. Tapi ibu tak mengizinkan jika aku memilih pendidikan sosiologi, alasannya karena lapangan pekerjaan dalam bidang tersebut tak begitu luas. Ya sudah aku menurut saja, aku juga masih awam perihal jurusan yang kupilih tersebut. Mungkin dari kelas X aku menyukai pelajaran sosiologi maka aku berminat untuk memperdalam ilmunya. Tapi saran tak ada salahnya kita dengarkan. Aku tinggal mempertahankan prodi komunikasi dan psikologinya untuk mencari tahu lebih banyak informasi. Jujur aku tertarik sekali dengan komunikasi, entah sejak kapan. Keinginan untuk menjadi wartawan, reporter, bagian perfilman,  instasi perusahaan majalah maupun televisi masih menjadi do’a dalam setiap sujudku. Aku juga ingin keliling dunia sembari bekerja. Tapi. Melihat bahwa posisiku sebagai “perempuan” akan menjadi kemungkinan kecil bagi keluargaku mengizinkan hal tersebut.

Banyak orang bilang, “Setinggi tingginya perempuan menuntut ilmu, pasti larinya akan kedapur juga”. Diantara pantas dan tidak pantas tergantung penilaian seseorang akan hak hak perempuan untuk mendapatkan derajat yang sama. Beruntunglah ada R.A Kartini yang telah mengusung emansipasi wanita. Setidaknya pilihan hidup yang dijalani masyarakat setelahnya lebih cerah. Termasuk masa sekarang yang sedang kita jalani. Untuk itu, aku ingin berjuang dulu dengan obsesi yang bergelantungan disetiap mimpi dalam tidurku. Semoga Allah menghendaki apapun yang baik untukku dan bermanfaat bagi masyarakat banyak ( Aamiin).

Rabu, 18 Juni 2014

Ketika Luka itu Masih Ada



               Amarah memang sebaiknya diluapkan dengan cara yang baik, menahan emosi atau dengan diam. Tapi aku lebih memilih untuk menulisnya.
               Hari yang buruk itu kembali lagi. Malam dimana tangisanku dengan mudahnya mengucur dari kedua mataku. Terlalu banyak hal yang harus dibendung hingga pada akhirnya aku tak kuat menahannya lagi. Masih ada perlakuan buruk yang kala itu terjadi kini lukanya masih tersisa. Awalnya aku memang tak ingin negative thinking, tapi atas penuturan yang tak sengaja diutarakan, rasa penasaran itu terbayar sudah. Keraguan yang dulu sempat menjadi rasa curiga ketika masalah tersebut menyeruak, kini dugaanku benar.
                Malam itu dengan sengaja aku benar-benar ditinggal karena sebuah kesalahan yang bukan secara sengaja aku lakukan. Dimana penegakan  dan pembelaan tak bisa kulakukan, alasan yang kuutarakan pun tak diterimanya. Aku tidak berniat untuk membantah ataupun memontong pembicaraan. Aku hanya ingin membela diri, AKU JUGA PUNYA HAK ATAS HAL ITU !!. Tapi aku ini orang kecil, tak pandai berkata seperti mereka orang besar. Akupun pasrah, ku biarkan saja luapan amarah itu menerjangku satu persatu, biar puas apa yang dirasa. Apa daya yang dilihat selalu saja kesalahan dan kesalahan. Bukankah seharusnya manusia tetap tersadar bahwa mereka adalah tempatnya salah dan dosa ?. Lantas, dengan keras  dan tanpa kasihan aku di hakimi bagai mereka tak mengenalku lagi.
                Aku mencoba untuk membiarkannya, mungkin hati ini sudah kebal menghadapi semuanya. Aku berusaha memahami, mengalah karena salah, dan diam karena tak banyak yang bisa ku lakukan saat ini. Lambat laun pasti akan kembali meskipun butuh penyesuaian. Tapi, dari semua kejadian itu, setiap detainya  bagai tak bisa kulupakan. Lalu kenapa harus kenangan pahit yang paling membekas ?. Lagi – lagi tak ada yang bisa dituntut atas apa yang telah terekam oleh memory.
                Ancaman ?. Hal ini tiba – tiba mengejutkanku hanya karena hal yang sangat sepele. Bukankah seharusnya dia memberikan contoh yang baik, tetapi malah mengancam. Ya sudah, aku lebih baik mengalah lagi dan lagi. Sulit memang, bahwasanya yang dihadapi bukanlah sosok yang pantas untuk dibiarkan menang. Orang lain mungkin tak percaya, semua memang terlihat baik – baik saja, bahkan sepertinya tak ada yang harus di permasalahkan. Tapi, disini aku yang merasakannya. Sekuat mungkin aku memang menyembunyikan ini semua. Mungkin saja dia juga tak pernah tahu, aku terisak menulis ini semua. Sadarkah ? Pedulikah saat ini ? Ah, mungkin tidak.
                Aku memang sengaja tak menceritakan permasalahan yang ku hadapi. Aku tak ingin mereka menanggung malu, bagaimanapun juga aku tetap harus menjaga nama baiknya, karena berhubungan dengan harga diriku dan semuanya yang terlibat. Aku hanya ingin meminta keadilan saja, bahwa diantara kami sejujurnya ingin mendapatkan perlakuan yang sama, ingin mendapatkan kasih sayang yang sesuai. Meskipun porsi keadilan tak harus sama dan seimbang. Tapi keadilan punya kebutuhannya sendiri – sendiri.
                Aku tak ingin lelah, meskipun harus berjuang lebih keras lagi membuat kalian bangga. Aku memang tak mengharapkan pujian atas prestasi yang pernah kuraih. Aku hanya ingin, rasa bahagia itu terlihat. Bahkan semuanya akan tampak biasa saja. Aku tahu, hebat dimata kalian memang istimewa, dan aku belum meraihnya. Tapi suatu saat, akan kuperlihatkan bahwa aku disini bisa membuktikan. Aku tak ingin setiap saat diremehkan begitu saja. Aku ingin lihat, bahwa senyum itu terlukis karenaku, karena rasa tidak terima itulah aku ingin memperbaiki semuanya yang setiap kali dipandang buruk. Semoga Allah mempermudah jalanku, dan memberi kesabaran, ketabahan juga kekuatan diantara langkah demi langkah yang kukorbankan.
               

Template by:

Free Blog Templates