Ini cerpen sebenarnya dibuat untuk lomba saat peringatan Isra' Mi'raj di sekolah. Tapi karena ada kesalahan informasi, akhirnya di cancel untuk berpartisipasi dalam perlombaan. Ternyata ketentuan cerpen harus di tulis tangan, dan waktu itu aku juga mendapat jatah untuk lomba kaligrafi. Karena teman - teman juga nggak ada yang sanggup menulisnya, akhirnya kami mengundurkan diri. Alhamdulillah, tak ada yang sia - sia, akhirnya kaligrafi mendapat juara 1 yang setidaknya bisa membanggakan nama kelas :). Dan terimakasih untuk Nia Ferdiana, teman semeja ku yang sudah merelakan waktunya untuk mengedit sedikit demi sedikit tulisanku yang masih acak - acakan ini. Selamat membaca sobat !
Senja di hari
Kamis yang damai, senja yang menyimpan harapan ingin segera disampaikan. Aku
menunggu waktu yang tepat agar bapak mau mendegar apa yang aku inginkan. Tapi
aku merasa ragu
untuk menyampaikannya. Ku lihat lagi tanggal di kalender
kamarku.
Orang – orang menyebut setiap minggu
terakhir di akhir bulan sebagai tanggal tua. Lagi –
lagi soal materi yang menjadi
permasalahan. Aku tahu, bapak memang tak berpenghasilan banyak untuk bisa
memenuhi semua kebutuhan yang diperlukan anak – anaknya. Ditambah lagi
sifat bapak yang tegas terkadang membuatku takut dan berkecil hati. Namun, tak ada salahnya mencoba. Ku hampiri bapak setelah menunaikan sholat
Ashar dengan segenap persiapan mental, lalu ku utarakan secara perlahan.
“Pak, Nisa butuh uang
untuk beli tas, sudah kedua kali ini tas Nisa dijahit kerena rusak”, ujarku
penuh harap.
“Bapak belum punya
uang, kalau masih bisa diperbaiki kenapa harus beli ?”, jawab bapak
menasehatiku.
“Tapi Nisa malu pak,
tasnya sudah jelek sekali, berbeda dengan tas milik teman – teman Nisa yang
masih bagus”, aku merayu sekali lagi.
“ Bapak kan sudah bilang kalau bapak tidak punya uang. Tak usah membandingkan dengan
milik temanmu, syukuri saja apa yang ada. Masih beruntung kamu bisa sekolah,
masih banyak anak di luar sana yang nasibnya lebih buruk. Nabi Muhammad, kan selalu mengajarkan
kepada kita untuk hidup sederhana”, ujar bapak dengan nada sedikit meninggi.
“Ya sudah pak”, jawabku pasrah.
Aku pun pergi meninggalkan bapak dengan perasaan
kecewa yang mendalam. Jika bapak sudah berceramah begini, aku memang tak bisa
membantah. Profesi bapak sebagai kyai, dan orang – orang di desaku menganggap
bapak sebagai sesepuh. Hal itu membuat beliau selalu memintaku menjaga sikap. Aku
bukannya tidak bersikap sopan dihadapan mereka, hanya saja mereka menganggapku sedikit
bandel, dan kata-kata itu membuat bapak semakin bersikap keras kepadaku. "Anak
kyai kok seperti itu”, perkataan seperti inilah yang membuatku malas untuk
menghargai mereka. Seringkali hal seperti ini membuatku merajuk. Bukan untuk
pertama kali, bahkan ini sudah yang kesekian kalinya. Jika sudah seperti ini ingin rasanya aku mengasingkan diri dari rumah. Lebih baik pergi menenangkan
diri karena amarah yang terpendam sedari tadi.
Aku berjalan bagaikan daun terbang tanpa arah. Aku
sedang ingin menyendiri, mencoba menerima ketidakserasian antara kenyataan
dengan keinginan hati. Mungkin hal ini terlihat sepele, tapi aku juga tak
mengerti mengapa hatiku memilih pergi dari rumah. Bila diingat, hanya akan
menambah sedih ketika kudapati sikap bapak yang lebih menyayangi Ananda dan
Adinda, adik kembarku yang paling bungsu. Aku tahu, mereka lebih butuh banyak
perhatian di umurnya yang menginjak 10 tahun ini. Tapi meskipun aku anak tertua
yang seharusnya menjadi panutan untuk ke empat adikku, bukankah semestinya aku
juga mendapat hak yang sama ?. Keadilan pun sering menjadi pertanyaan yang selalu
mengusik pikiranku, karena aku tak berani menuntut apapun dari bapak, maka aku
memilih untuk diam.
Langkah kakiku mulai lelah, wajahku semakin sayu. Aku menghentikan perjalanan dan beristirahat sejenak di Taman dekat Balai Desa. Hari sudah semakin sore, tapi aku tak ingin pulang sekarang. Nampak dari
kejauhan terlihat dua orang anak perempuan berjalan menuju kearahku. Wajahnya pucat, langkahnya mulai terseret – seret. Mereka juga beristirahat dan duduk persis di sampingku. Aku memandangnya penuh rasa iba. Aku mencoba berpikir dari mana saja mereka
seharian sampai wajahnya pucat seperti itu. Pakaiannya terlihat kusam, sembari
membawa berkas – berkas proposal diatas pangkuannya. Aku masih menatap kearah
mereka, dan ingin bertanya meskipun aku tak mengenalnya. Aku seperti melupakan
amarahku ketika melihat mereka berdua. Anak tersebut membuka tasnya dan
menghitung uang yang mereka miliki.
“Dek, kalian darimana saja, kok wajahnya pucat begitu ?”, aku memberanikan
diri untuk bertanya.
“ kami habis menyebar proposal untuk panti asuhan mbak”, jawab salah seorang
dari mereka.
“Oh begitu, kalian tinggal di panti asuhan mana ?”, aku sepertinya
ingin tahu lebih banyak tentang mereka.
“ Di Panti Asuhan Aisyah Banjarsinaga mbak”
“Banjarsinaga ? lumayan jauh lho dari sini. Kalian naik apa bisa sampai di sini, kalian ini masih terbilang kecil
dek, nanti kalau di culik atau ada yang ingin berbuat jahat dengan kalian bagaimana?”
“InsyaAllah tidak mbak, kan ada Allah yang selalu melindungi kita.
Aku dan adikku ini harus menyebarkan proposal ke beberapa tempat, karena panti yang kami tempati sedang
butuh dana untuk biaya makan sehari – hari. Kami tak tega melihat Ibu panti yang setiap hari
mencarikan donatur untuk kami. Masih bisa ditampung di Panti
Asuhan saja kami sudah bersyukur mbak. Kami juga merasa tidak nyaman jika
selalu membebani pengurus panti yang akhir – akhir ini kelelahan mencari donatur
untuk kami.”
Aku terdiam mendengar cerita dari anak ini. Hatiku
bergetar mengingat apa yang terjadi tadi. Betapa dia berpikir jauh lebih dewasa
daripada aku yang umurnya lebih tua darinya. Rasa syukur masih tetap terucap
dalam keadaan yang memang lebih buruk dariku. Ya Allah aku merasa sangat
berdosa sekali bila aku mengingat akan sikapku yang sering menuntut banyak dari
orang tuaku, sampai-sampai aku lupa untuk bersyukur kepadaMu.
“Mbak, kok melamun. Ada apa?”, ujarnya seraya
menepuk pundakku.
“Eh, tidak dek, (mengalihkan pandangan), Oh iya, sejak tadi
kita bercerita tapi belum
berkenalan.
Namaku Nisa, kamu ?”
“Oh iya mbak, sampai lupa. Saya Muyasaroh dan adikku Niken. Mbak mau tanya,
di dekat sini ada warung tidak ?. Saya mau beli makanan untuk berbuka puasa”,
tanya Muyasaroh dengan sopan.
“Subhanallah, kalian ini puasa ? pantas saja wajah kalian pucat sedari tadi. Mungkin kalian terlalu
lelah. Warungnya ada dek, tapi masih agak jauh dari sini.
Gimana kalau kalian pulang saja kerumahku, dan berbuka di sana, sebentar lagi
sudah mau adzan maghrib”, pintaku pada mereka.
“ Eh, ndak usah mbak. Nanti merepotkan, saya beli
diwarung saja tidak apa – apa”, dia menolak tawaranku.
Aku mencoba merayu mereka kembali agar Muyasaroh
dan Niken mau menerima tawaranku. Aku tak tega
bila melihat mereka harus berjalan lebih jauh lagi untuk pergi ke warung.
Dan akhirnya, mereka mau menerima tawaranku untuk berbuka puasa di rumah. Selama
diperjalanan menuju kerumahku, Muyasaroh bercerita tentang kehidupannya. Ayah
dan ibunya sudah lama meninggal saat Muyasaroh berumur 7 tahun dan Niken
berumur 5 tahun karena kecelakaan. Setelah kejadian itu ada tetangga mereka
yang berbaik hati mengantarkan Muyasaroh dan Niken di Panti Asuhan Aisyah
karena tak ada yang bisa menampung mereka. Saudara – saudara mereka tak ada
yang bisa mengurus Muyasaroh dan Niken karena masalah ekonomi yang selalu
menjadi hambatan.
Betapa malangnya nasib kedua anak ini. Selain tidak mempunyai orang tua, mereka juga tidak
bisa mengenyam bangku pendidikan. Terkadang ada beberapa guru yang dengan
sukarela mengajar anak – anak di Panti dengan buku – buku seadanya. Meskipun
tak setiap hari, tapi mereka sudah senang karena masih diberi kesempatan untuk
menimba ilmu. Hidup dalam kesederhanaan, mau tak mau harus mereka terima. Tak jarang
rasa sepi begitu sering menghampiri, berharap mereka juga mendapatkan kasih
sayang seperti yang didapatkan oleh anak – anak lainnya.
Karena keasyikan bercerita, tak terasa kami
bertiga sudah sampai di rumahku. Kami bertiga langsung masuk kerumah.
“Nah, ini rumah keluargaku, ayo masuk dulu. Beberapa
menit lagi pasti sudah Adzan “, aku mempersilahkan mereka untuk masuk kedalam
rumah.
“ Iya, terimakasih mbak. Maaf kami berdua jadi
merepotkan mbak” ujar Muyasaroh.
“Tidak apa – apa, kita semua kan saudara, jadi harus saling tolong-menolong, saya kebelakang
sebentar ya”.
Aku menghampiri bapak untuk memberitahunya bahwa aku membawa dua orang tamu. Saat bertemu dengan bapak, aku menjelasakan
perihal tentang Muyasoroh dan Niken kepada bapak. Syukurlah, bapak menerima
mereka dengan baik. Bapak pun senang dengan niat baikku yang memuliakan
seseorang yang sedang berpuasa dan juga anak yatim piatu. Adzan Maghrib sudah
berkumandang, aku menyuguhkan minuman dan beberapa makanan untuk Muyasaroh dan
Niken.
“Ini silahkan di minum dan di makan, sudah
waktunya berbuka puasa”,ujarku.
“Oh iya, terimakasih banyak mbak”, jawab Muyasaroh. Niken hanya tersenyum kepadaku seraya mengucap do’a dalam hatinya dan
menyegerakan berbuka puasa.
“Niken daritadi kok kelihatannya diam kenapa dek
Muya?”, tanyaku pada Muyasaroh setelah mereka berbuka.
“Iya mbak, Niken bisu sejak lahir dan
pendengarannya kurang peka, jadi dia tidak berbicara dari tadi”, jelas
Muyasaroh kepadaku.
“Oh, maaf dek. Saya tidak tahu kalau Niken ini
bisu, saya jadi tidak enak sudah menanyakan hal tersebut”, aku merasa bersalah
dengan Niken, tapi Niken tersenyum lagi kepadaku. Aku pun membalas senyum itu
sebagai permintaan maafku.
“Dek Muya, tadi bapak pesan kepada saya, agar
kalian menginap semalam disini. Hari sudah semakin gelap.Tak baik jika kalian
pulang dimalam hari seperti ini. Besok kalian bisa kembali lagi ke panti
asuhan”,ujarku pada Muya.
“Bukannya kami menolak mbak. Kami takut merepotkan
keluarganya Mbak Nisa. Saya dan Niken
sudah diberi suguhan untuk berbuka puasa saja sudah Alhamdulillah”, Muya
menolak tawaranku lagi.
Aku tak sungkan untuk merayunya lagi. Membiarkannya
pulang disaat seperti ini bukan jalan yang baik. Dan akhirnya mereka pun mau
menerima niat baikku ini. Jika direnungkan, pertemuanku dengan Muyasaroh dan
Niken sepertinya memberikan pelajaran yang begitu berharga bagiku tentang rasa
syukur yang seharusnya aku lakukan. Terlalu lama sudah aku tenggelam dalam
nikmatnya dosa dan keangkuhan dunia. Seringkali aku tak
menikmati apa yang sudah diberikan Allah untukku. Kesabaran Muyasaroh dan Niken menjadi
motivasi baru untukku agar menghargai apa pun yang aku miliki. Aku percaya,
pertemuan ini pasti bagian dari rencana Allah untuk membawaku ke jalan yang lebih baik. InsyaAllah,
aku menerima apa yang aku miliki sekarang, rezeki pasti sudah ada yang mengaturnya. Lebih baik aku
meningkatkan ketaqwaanku pada-Nya.
Tiba-tiba bapak mengahmpiri kami bertiga.
“Nisa, malam ini bapak akan mengisi pengajian di
Masjid untuk acara Isra’ Mi’raj, jika teman-temanmu berkenan, bapak akan
membawa proposal Panti Asuhan dan mengumumkannya kepada para jama’ah, siapa
tahu ada yang ingin menjadi donatur untuk panti mereka!”, ujar bapak.
“terimakasih pak, teman-temanku pasti setuju, iya
kan Muyasaroh?”, tanya Nisa.
“iya mbak, kami berdua setuju. Terimakasih pak,
maaf kami berdua telah merepotkan bapak dan mbak Nisa!” jawab Muyasaroh.
“iya tidak apa-apa, kami senang bisa membantu
kalian. Ini proposalnya bapak bawa ya?”
Aku pun mengurungkan
niatku untuk membeli tas baru jika bapak benar – benar tak memiliki uang. Jika dibanding
dengan Muyasaroh dan Niken aku masih lebih beruntung, aku tak lupa mendo’akan
mereka agar selalu dalam lindungan-Nya. Terimakasih untuk Muyasaroh dan Niken
yang telah membuka mata hatiku untuk lebih dan lebih bersyukur lagi kepada-Nya.
Dan yang terpenting, terimakasihku kepada-Mu Ya Allah, hingga saat
ini Engkau masih memberiku hidup.
SELESAI